04 Februari 2009

NAHNU QAUMUN AMALIYUN

Amal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari iman. Imam Hasan Albashri menegaskan bahwa iman bukanlah angan-angan dan harapan hampa, akan tetapi ia adalah keyakinan yang mantap dalam hati dan dibuktikan dengan amal yang nyata. Bagi para aktivis da’wah amal Islami adalah bukti intima (komitmen) pada da’wah, jama’ah dan harokah. Tidak ada tempat di dalam jama’ah da’wah ini bagi orang-orang yang hanya ingin diakui sebagai anggota secara legal formal, apatah lagi bagi mereka yang sepi beraktivitas (baca: menganggur) bahkan hanya membebani jama’ah.


Kita seharusnya datang ke jama’ah ini untuk memberi dan bukan untuk meminta, sudah semestinya kita mengurangi beban dan bukan menjadi beban dan bahkan menjadi kewajiban kita memberikan seluruh potensi yang kita miliki untuk da’wah dan bukan mencari keuntungan dari da’wah. Ingatlah, sesungguhnya orientasi kita dalam jama’ah ini adalah orientasi amal dan hanya amallah yang dapat mengangkat derajat kita serta membuat Allah mengakui kita sebagai aktivis da’wah. Allah berfirman: “Dan berbuatlah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman akan melihat amal kalian, dan kalian akan dikembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata."(At-taubah :105)


Ketahuilah, kewajiban dan tanggung jawab yang harus kita emban ternyata lebih banyak dari waktu yang tersedia dan lebih besar dari potensi yang kita miliki, oleh karenanya jangan sampai ada di antara kita yang hanya duduk, terpaku, dan berdiam diri di dalam gerakan dakwah ini karena gerakan dakwah ini bukanlah gerakan dakwah tanpa kerja (baca: pengangguran). Bila hal itu terjadi, maka ia akan membawa dampak negatif kepada jama’ah, sebagai contoh munculnya suasana dan iklim yang tidak sehat yaitu iklim ghibah dan namimah di antara para da’i yang dapat menghambat perjalanan harokah dan meruntuhkan bangunan jama’ah. Tidakkah kita menyadari bahwa Rasul melarang kita dari dua hal, yaitu membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya (qiila wa qoola = katanya…dan katanya…) dan menyia-nyiakan harta (idlo’atul maal). Termasuk prinsip sembilan dari Ushul Isyrin yang menegaskan bahwa setiap masalah yang tidak berorientasi pada amal,maka membicarakannya adalah sesuatu yang memberatkan diri dan dilarang oleh syari’at.


Sekaranglah saatnya kita memperbanyak aktivitas dan meningkatkan produktivitas dan tidak ada waktu bagi kita untuk banyak berbicara terlebih berbicara tentang sesuatu yang tidak berguna mengingat masih banyak lahan da’wah yang belum tergarap. Betapa banyak lahan da’wah yang menjadi tanggung jawab kita di kalangan buruh, pekerja, pedagang, petani, nelayan, professional, ibu rumah tangga, remaja, anak jalanan, dll. Sungguh naïf jika ada di antara kita yang tidak memiliki aktivitas, kesibukan atau “pekerjaan” di dalam dakwah ini. Sungguh, Ustadz Hasan Al-Banna pada masa hidupnya pernah berkata bahwa kita harus bekerja lebih banyak untuk umat dari pada untuk diri kita sendiri.


Ladang da’wah begitu banyak terbuka luas di depan kita. Siapa yang akan memulai menggarapnya? Tentu saja dibutuhkan para da’i yang berinisiatif, kreatif dan produktif yang motivasinya karena Allah dan berorientasi kepada ridlo Allah. Lupakah kita bahwa Rasul pernah bersabda bahwa barang siapa yang berinisiatif mengerjakan amal kebaikan lalu diikuti oleh orang lain maka baginya pahala atas perbuatannya itu dan pahala dari orang-orang yang mengerjakan setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun… (HR. Bukhari ).


Indikasi bahwa kegiatan dan proses tarbiyah yang kita selenggarakan telah berjalan cukup baik (efektif) adalah jika para da’i dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai syakhshiyyah Islamiyah dan da’iyah di tengah masyarakatnya. Kehadiran, partisipasi, peran, dan kontribusinya dapat dirasakan oleh orang banyak. Sebagaimana ditegaskan oleh Rasul ShalaLlahu ‘alaihi wassalam bahwa “orang yang paling baik adalah orang yang paling banyak kebaikannya di masyarakat. (HR. Tirmidzi). Rasulullah ShalaLlahu ‘alaihi wassalam menggambarkan bahwa profil seorang mukmin adalah seperti lebah, yaitu hanya mengambil yang baik dan memberi yang baik (HR. Ahmad). Bila ia hinggap di suatu tempat maka ia akan mengambil yang terbaik dari tempat itu yaitu madu tanpa merusak atau mematahkan ranting tempat ia berpijak. Bahkan lebah membantu bunga-bunga tersebut melakukan proses penyerbukan. Dan ketika ia meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat yang lain, maka ia meninggalkan sesuatu yang terbaik pula yaitu madu serta meninggalkan kenangan manis kepada lingkungan yang pernah ia hinggapi. Dan begitu seterusnya. Ikhwah, jadilah seperti lebah yang selalu mencari unsur-unsur kebaikan dan memberikan buah kebaikan. Benih-benih kebaikan itu tak akan terjadi manakala kita tidak giat melakukan amal da'wi di masyarakat.


Sesungguhnya amal adalah buah dari ilmu dan keikhlasan. Ilmu yang kita peroleh di dalam halaqah, tatsqif dan ta’lim harus berdampak positif pada kehidupan sehari-hari di lingkungan tempat kita beraktivitas. Kita tidak boleh merasa puas dengan kegiatan tarbawi, tatsqifi, dan tanzhimi yang tidak ditranformasikan kepada masyarakat. Kita tidak boleh menganggap cukup dengan aktivitas tarbawi yang bersifat internal tanpa mengembangkannya dalam bentuk amal da'wi dan kegiatan sosial karena konsep tarbiyah yang kita anut adalah memadukan tarbiyah nukhbawiyah (pembinaan kader ke dalam) dan tarbiyah jamahiriyah (rekrut massa yang bersifat terbuka dan massif ).


Jadilah pekerja da’wah yang berperan aktif dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh stuktur dakwah. Janganlah kita menjadi penonton dalam persaingan dan pertarungan da’wah yang hanya bisa tertawa, bergembira, bersorak-sorai, bertepuk tangan dan bersiul menyaksikan pemain yang bertarung untuk merebut kemenangan di medan pertandingan atau kadang kala berkomentar negatif jika pemain melakukan kesalahan.


Kita tidak mengenal istilah pengamat da’wah dalam kamus da’wah kita karena yang ada hanyalah aktivis da’wah dan praktisi harakah. Oleh karena itu tidak boleh ada di antara kita yang menjadi pengamat da’wah tapi hendaklah menjadi aktivis dan praktisi harakah.

Baca selengkapnya......

LEBIH DEKAT DENGAN USTADZ


Orang mengenal Ustadz Abdul Muiz Saadih sebagai pengajar. Dalam kesehariannya, ia mendedikasikan ilmu dan pengalamannya untuk anak muridnya. Hingga saat ini, ia tercatat sebagai pengajar STID DI Al-Hikmah sekaligus merangkap Wakil Ketua lembaga tersebut. Murid-murid Ustadz Abdul Muiz tersebar di se-antero Jakarta dan sekitarnya.

Di struktur PKS, Abdul Muiz dipercaya menjabat Ketua DPP PKS Departemen Kaderisasi. Sebagai ketua bidang kaderisasi di PKS, tentu Abdul Muiz sangat sibuk memformulasikanliteratur-literatur yang ada untuk dijadikan pegangan menciptakan kader yang sesuai dengan visi-misi PKS. Tentu pekerjaan ini bukan pekerjaan mudah karena memerlukan kepekaan terhadap masa depan seluruh kader PKS di seluruh dunia.

“PKS sebagai partai kader tentu keberhasilannya ditentukan oleh keberhasilan mendidik dan menciptakan kader yang berkualitas. Semakin berkembang kader semakin baik pula partai. Dan partai ini berkembang dengan sendirinya jika kader partai kokoh. Kita perlu melihat keberhasilan PKS dari jumlah banyaknya dukungan masyarakat dan kualitas kader itu sendiri,” ujar Abdul Muiz. Ia menjelaskan, PKS tak melulu berbicara politik tapi berbicara banyak hal yang sehubungan dengan masalah keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi PKS adalah partai dakwah yang selalu menyeru kepada amar ma’ruf nahi mungkar.

Abdul Muiz lahir di Jati Asih, Kota Bekasi, 10 April 1961 dari pasangan H Saadih dan Hj Icah. Abdul Muiz dididik dan dibesarkan melalui latar belakang agama Islam yang kuat dari kedua orangtuanya. Selepas sekolah dasar (SD), ia dimasukkan di pesantren al-Masturiyah dengan alasan jika besar nanti memiliki bekal agama yang kuat. Niat dan doa orangtuanya, H Saadih dan Hj Icah diamini Allah, setamat dari pesantren selama 6 (enam) tahun ia mendapatkan beasiswa melanjutkan pendidikannya di Al-Azhar, Mesir, tahun 1984.

Ia menceritakan, tidak semua temannya yang mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan di Mesir. Karena setiap pesantren hanya 1-2 santri yang mendapatkan tiket beasiswa. “Waktu itu saya sangat beruntung sekali karena bisa mewakili pesantren al-Masturiyah. Melalui beasiswa itu saya bisa mengambil S1 dan S2 di Mesir. Dan alhamdulillah pulang ke tanah air 1993, semoga apa yang kudapatkan di sana bisa bermanfaat bagi masyarakat Indonesia,” harapnya.

Selama kuliah di Mesir, ia mendapatkan banyak hal. Yang paling berkesan menurut suami Rohaitoh ini adalah ketika mendapatkan jatah tiket menunaikan haji tahun 1987. Paling membanggakan, tidak semua mahasiswa mendapatkan jatah haji gratis dari kampus al-Azhar. Abdul Muiz menceritakan, mahasiswa yang diberi tiket adalah yang memiliki nilai tertinggi. Selama berhaji, beliau digratiskan mulai dari pemberangkatan hingga pulang kembali ke kampus.

Berbicara soal Mesir-Indonesia, Abdul Muiz menjelaskan banyak hal yang perlu ditiru dari Mesir jika Indonesia ingin menjadi bangsa besar. Ia mencontohkan, dari segi pendidikan, di Mesir sangat menghargai ilmu pengetahuan. Berbeda dengan Indonesia masih melihat angka-angka di IPK (indeks prestasi kumulatif) dari anak didiknya. Di Mesir disediakan kelompok belajar di luar kelas formal untuk mengembangkan ilmu anak didik. Sehingga mahasiswa dan pelajar terbiasa bebas mendalami disiplin ilmu yang disukai. Dan perpustakaan di Mesir dipenuhi mahasiswa. Sangat berbeda dengan mahasiswa di tanah air, lebih suka ke mall daripada ke perpustakaan.

Apa yang ditempuh Abdul Muiz jika terpilih sebagai DPR RI? Ia mengatakan, banyak hal yang perlu dibenahi. Dirinya berlatar belakang agama memprioritaskan memberi masukan kepada Departemen Agama. Sebab, jika dilihat dari fungsinya, Depag kurang berkerja secara optimal. Seharusnya masjid dan musalla dijadikan sentral kemajuan masyarakat. Nantinya, tidak ada lagi umat Islam yang tidak bisa baca-tulis al-Qur’an seperti banyak dialami anak muda sekarang ini.

“Karena kali pertama yang dibangun oleh Rasulullah ketika memasuki Madinah adalah masjid. Melalui masjid beliau mampu membangun masyarakat madani. Lewat masjid pula, Rasulullah membangun kultur baru yang lebih dinamis, reformis dan progresif. Padahal, perubahan itu bermula dari masjid seperti dicontohkan Rasulullah.”

Ketua Yayasan al-Wafi Setia Islami ini gundah dengan melihat moralitas pejabat di negeri ini yang selalu mempertontonkan ketidakjujurnya. Tiap hari ada saja pejabat publik diberitakan melakukan korupsi. Padahal, menurutnya, sebelum menduduki jabatan itu mereka disumpah dengan kibat suci al-Qur’an. Tapi mereka tidak ada ketakutan melanggar sumpahnya itu.

Pria yang memiliki 5 orang anak ini mengatakan, dirinya belum pernah terpikirkan menjadi anggota dewan apalagi DPR RI. Hanya saja, lanjutnya, partai tempatnya berdakwah memberikan kepercayaan sebagai caleg. “Syukur alhamdulillah jika terpilih (anggota dewan). Dan alhamdulillah jika saya tidak terpilih. Artinya, beban saya tidak bertandah dengan amanah baru ini. Memegang jabatan sebagai ketua kaderisasi DPP PKS saja cukup berat,” ujar Abdul Muiz, saat dihubungi melalui telpon selulernya.www.pk-sejahtera.us






Baca selengkapnya......

03 Februari 2009

KESUKSESAN: KEMBALI KE MANHAJ TARBIYAH

Dakwah tidak mengenal udzur. Anas bin Malik mengatakan tentang Abdullah bin Ummi Maktum yang secara kondisi fisik buta. Tapi pada perang Yarmuk, Abdullah bin Ummi Maktum hadir di tengah para mujahidin di medan perang, memakai baju besi, memegang bendera. Anas bin Malik bertanya, wahai Abdullah bin Ummi Maktum, bukankah Rasulullah saw telah memberi udzur kepadamu? Ia menjawab, “Ya betul, memang dalam Al Quran telah diberikan udzur kepada orang buta. Tetapi sayamenginginkan dengan kehadiran saya di sini, di medan perang, paling tidak dapat menambah jumlah tentara Islam.” Alhamdulillah sekarang kita banyak. Coba kalau hanya tiga orang, tidak semangat.

Diceritakan lagi ketika tentara Holagu masuk ke kota Baghdad, terdapat seorang ulama yang juga buta. Dia menghadang tentara dengan mengayunkan pedang ke kanan dan ke kiri barangkali ada musuh yang kena. Secara logika, apa yang bisa dilakukan oleh orang yang dalam kondisi seperti itu? Barangkali kalau dia duduk di rumah dia tidak dosa dan tidak ada pertanggung jawabannya di sisi Allah. Tapi masalahnya, ia ingin berkontribusi, ingin aktif, paling tidak ingin mati syahid. Dan benar ia mati syahid.

Kisah kisah semacam ini banyak dalm kisah tabiin. Yang kita inginkan dalam tarbiyah adalah para kader dakwah seperti itu. Meskipun sudah udzur tetap saja bersemangat berjuang, berjuang, berjuang. Menurut Ahmad bin Hambal kepada muridnya, “mataa yajidul abdu tha’marrahah?” kapan seseorang bisa beristirahat?” Ia menjawab, “Indamaa yatha’u ihda qadamaihi fil jannah” ketika salah satu kakinya menginjak surga. Artinya sebelum mati, tidak ada waktu untuk senang senang istirahat. Laa rahata li du’at illa ba’dal mamaat. Itu kata Syaikh Ahmad Rasyid. Jadi barangsiapa yang mau istirahat silahkan mati. Meskipun setelah itu juga belum tentu bisa istirahat karena tidak ada amal.

Untuk memenangkan dakwah di era siyasah seperti sekarang, setidaknya kuncinya ada 8 (delapan) yaitu :

1. Kita harus pastikan sepakat bahwa kita harus menerapkan manhaj tarbiyah

Apalagi kalau kita mengakui kita adalah partai kader, di mana modal utama kita adalah kader. Kita untuk msalah dana, sarana, fasilitas masih sangat terbatas dibanding yang lain. Tapi kelebihan kita, keistimewaan kita adalah mesin dakwah kita yang dijalankan oleh kader. Untuk melahirkan kader yang berkualitas, yang tidak mengenal udzur, bahkan paling tidak Allah swt mengingatkan paling tidak perbandingan kapasitas kader kita 1 banding 10 dibanding aktifis lain. Sampai rasionya bisa satu banding seribu. Ketika Umar bin Khattab diminta mengirimkan pasukannya ke Mesir, ia hanya mengirim 1000 personil ditambah 4 orang. Di mana satu dari empat orang itu rasionya satu banding seribu. Itu hanya bisa dilakukan dengan tarbiyah, yang sistemik, terstruktur, terorganisir, dengan menggunakan manhaj.

Ikhwah sekalian,
Barangkali berdasarkan pengalaman, ketika berhalaqah, sebagai naqib atau sebagai a’dha, atau sebagai murabbi mengelola halaqah, apakah kita komitmen pada manhaj yang dikenal dengan manhaj 1427? Pedomannya itu atau feeling? Kembali pada manhaj, saya yakin betul ini bisa menjamin keberhasilan dakwah. Ini harus kembali pada manhaj. Bagaimana peran para kader.. bisa dilihat dalam manhaj. Untuk tamhidi misalnya, sudah harus punya kesadaran untuk menyebarkan fikrah. Dalam bahasa kita dilatih untuk direct selling. Kalau muayid sudah pada kewajiban berdakwah.

Barangkali ada keluhan halaqah kering tandus, permasalahannya di mana? Itu karena kita tidak komitmen kepada manhaj. Bukankah tentang ruhiyah, fikriyah, amaliyah, masalah akhlak, keluarga, semuanya ada dalam manhaj dan terpenuhi dalam manhaj. Maka itulh yang disebut kembali pada asholah manhaj. Kita punya manhaj tarbiyah, yang waktu, pikiran, energinya, dipersiapkan lebih dari 10 tahun. Jihaz tarbawi alami, sudah bertahun-tahun. Di Indonesia juga bertahun-tahun. Lalu kita anggap seperti koran atau disimpen di lemari. Ini sangat urgen, kita harus kembali pada manhaj.

2. Fokus pada muwashofat yang berkait langsung terkait dengan pemenangan pemilu.

Ada banyak muwashofat dan saya usul ada muwashofat yang harus fokus pada pemenangan pemilu.
Artinya, dalam kondisi bebeapa bulan ini, menjelang pemilu, halaqah tidak lagi disibukkan pada menghafal. Itu tetap perlu, tapi ditunda dulu. Harus lebih hal-hal yang sifatnya operasional. Yakni, muwashofat matinul khuluq dan muwashofat nafi’un lighairihi. Barangkali dalam kondisi normal kita melihat semua ini penting, tapi dalam kondisi mendesak seperti sekarang, fokus pada dua
muwashofat itu.

3. Komitmen pada sarana halaqah sebagai sarana tarbiyah asasi.

Dalam manhaj disebutkan, al halaqah wasilatun ula wal aula... laisat badiilah anhaa... tidak bisa diganti, tidak ada alternatif lain. Kalau kita ingin, jamaah ini, partai ini solid, maka ukuran soliditas partai adalah pada halaqah. Kalau halaqahnya bermasalah, halaqah hanya sekedar menyimpan badan, setor muka, menunggu taklimat, titik krusialnya di sini. Jangan juga seperti orang yang teriak teriak tarbiyah menyimpang, tidak ashalah, sementara dia tidak tarbiyah dan tidak halaqah.

4. Disiplin dengan baramij halaqah.

5. Memprioritaskan aspek tarbiyah amaliyah, harakiyah.

6. Menggunakan sarana tarbawi selain halaqah yang efektif.

7. Melakukan evaluasi tarbawi secara berkala


8. Evaluasi tarbawi berbasis kinerja dan kontribusi kader pada pemenangan pemilu.


Artinya kita harus modifikasi form mutaba’ah. Yang simpel yang singkat, yang berdampak langsung
pada pemenangan pemilu. Form yang dibikin BPK bukan wahyu. Silahkan lakukan modifikasi sesuai kebutuhan lapangan

Baca selengkapnya......

MENYAMBUT PANGGILAN DAKWAH


Bersemangat dalam menyambut panggilan da'wah menunjukkan adanya keseriusan (jiddiyah) karena keseriusan adalah salah satu ciri kader militan. Keimanan seseorang belum sempurna kecuali apabila mendengar panggilan Allah dan Rasul-Nya segera menyambut panggilan tersebut dengan senang hati dan penuh semangat, Al-Qur'an mengingatkan kita tentang hal itu : "Hai orang--orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan". (Al-Anfal :24 ).


Kader da'wah apabila mendengar panggilan da'wah ia sambut dengan kata-kata "sam'an wa tha'atan" (kami dengar dan kami taati) "labaik wa sa'daik" (kami siap melaksanakan perintah dengan senang nati). Para sahabat Rasul di saat menjelang perang Badar, ketika Rasul ingin mengetahui kesiapan mereka untuk perang menghadapi musyrikin Quraisy, mengingat tujuan awal mereka bukan untuk perang tetapi untuk menghadang kafilah dagang yang dipimpin oleh Abu Sufyan, namun kafilah itu berhasil meloloskan diri dari hadangan kaum muslimin, maka Rasul bermusyawarah dengan mereka tentang apa harus dilakukan. Dari kalangan Muhajirin Abu Bakar dan Umar bin Khattab menyambut baik untuk terus maju ke medan pertempuran. Sedangkan Miqdad bin `Amru mengatakan : "Wahai Rasulullah, laksanakanlah apa yang telah diberitahukan Allah kepadamu, kami tetap bersamamu.

Demi Allah kami tidak akan mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan Bani Israel kepada Nabi Musa,yaitu "Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami tetap duduk di sini". Tetapi yang kami katakan kepadamu adalah : "Pergilah kamu bersama Rabbmu dan berperanglah, kami ikut berperang bersamamu". Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, seandainya kamu mengajak kami ke Barkul Ghimad (suatu tempat di Yaman, red ) pasti kami tetap mengikutimu sampai disana.


Setelah sahabat Muhajirin, sahabat Anshar yang diwakili oleh Sa'ad bin Mu'adz menyampaikan sikapnya :"Kami telah beriman kepadamu dan kami bersaksi bahwa apa yang kamu bawa adalah benar, atas dasar itu kami telah menyatakan janji untuk senantiasa taat dan setia kepadamu. Wahai Rasulullah lakukanlah apa yang kau kehendaki, kami tetap bersamamu.Tidak ada seorangpun diantara kami yang mundur dan kami tidak akan bersedih jika kamu menghadapkan kami dengan musuh esok hari. Kami akan tabah menghadapi peperangan dan tidak akan melarikan diri. Semoga Allah akan memperlihatkan kepada kamu apa yang sangat kamu inginkan dari kami. Marilah kita berangkat untuk meraih ridha Ilahi.


Dalam riwayat lain, bahwa Saad bin Muadz berkata kepada Rasulullah, "Barang kali kamu khawatir jika kaum Anshar memandang bahwa mereka wajib menolongmu hanya di negeri mereka. Saya sebagai wakil kaum Anshar menyatakan, jalankan apa yang kau kehendaki, jalinlah persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki dan putuskanlah tali persaudaraan dengan siapa saja yang kau kehendaki. Ambillah harta benda kami sebanyak yang kau perlukan dan tinggalkanlah untuk kami seberapa saja yang kamu sukai, apa saja yang kau ambil dari kami itu tebih kami sukai daripada yang anda tinggalkan. Apapun yang kamu perintahkan maka kami akan mengikutinya, demi Allah jika kamu berangkat sampai ke Barkul Ghimad kami akan berangkat bersamamu, demi Allah seandainya kamu menghadapkan kami pada lautan kemudian kamu terjun kedalamnya maka kamipun akan terjun ke dalamnya bersamamu. (Rakhikul Makhtum 285-286).


Hasan Al-Banna berkata da'wah pada tahap pembinaan (takwin) shufi disisi ruhiyah dan askari (kedisiplinan) dari sisi amaliyah (operasional), slogannya adalah amrun wa thoatun (perintah dan laksanakan) tanpa ada rasa bimbang, ragu, komentar, dan rasa berat'. (Risalah Pergerakan 2).


Empat Aspek Ruhul Istijabah


1. Istijabah Fikriyah (Menyambut dengan pikiran /dengan sadar).
Kader da'wah ketika mendapat tugas dari Murobbi, Pembina, maupun Qiyadah tidak hanya sekadar melaksanakan perintah dan tugas, tetapi ia sadar betul apa yang dikerjakannya adalah dalam rangka taat kepada Allah dan meraih ridho-Nya, bila dilakukan mendapat pahala dan bila tidak dilakukan dosa.Karena itu para kader da'wah harus memahami, bahwa melaksanakan perintah dan tugas yang datang dari Murobbi, Pembina atau Qiyadah dalam rangka taat kepada Allah. karena Allah telah mewajibkan taat kepada pemimpin:"Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul serta (taatilah) pemimpin kamu... " (An-Nisaa:59).


Demi laksananya tugas secara maksimal maka seorang kader selalu memikirkan tentang bagaimana cara melaksanakan tugas dengan baik, maka ia harus memperhatikan waktu, cara dan sarana yang tepat sehingga pekerjaan dapat diselesaikan sesuai perintah, rencana, tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan. Bahkan harus memiliki kemampuan memberikan saran, pendapatdan dan pandangannya demi terselenggaranya program dengan baik, seperti yang dilakukan oleh sahabat Habab bin Al Mundzir ketika mengusulkan tempat yang strategis untuk posisi pasukan kaum muslimin pada perang Badar. Habab berkata, "Wahai Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah sehingga tidak dapat diubah lagi, ataukah strategi perang? Rasulullah menjawab, tempat ini kupilih berdasarkan strategi perang".


Kemudian Habab berujar kembali "Wahai Rasulullah tempat ini tidaklah strategis. Ajaklah pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh. Kita membuat markas di sana dan menutup sumur-sumur yang ada di belakangnya, kemudian kita buat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum". Rasulullah menjawab, "Pendapatmu sungguh baik". Begitu pula, pada saat pasukan koalisi, yang terdiri dari kaum Musyrikin, bangsa Yahudi dan orang-orang Munafik menyerang Madinah, sahabat Salman Al-Farisi menyampaikan usulannya kepada Rasulullah yaitu menggali parit di sekeliling Madinah, kemudian Rasulullah menerima usulan tersebut dan menjadi strategi perang yang ditetapkannya sehingga perang itu diberi nama dengan perang Khandak (parit).


Pada perang Qodisiah, perang antara tentara pasukan Persia, yang terjadi di Irak pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, Qoqo bin Amr terus berpikir untuk menaklukkan pasukan bergajah yang menjadi andalan pasukan Persia. Sampai akhirnya Qoqo mendapatkan sebuah ide, untuk membuat patung gajah, agar kuda-kuda milik kaum Muslimin terbiasa melihat gajah sehingga ketika kuda-kuda itu berhadapan dengan gajah-gajah yang sebenarnya, tidak takut menghadapinya. Ternyata ide Qoqo ini menghasilkan buah. Pada perang Qodisiah tentara kaum Muslimin berhasil menaklukan tentara Persia yang mengandalkan pasukan bergajahnya. Khalifah Umar bin khattab pernah berucap, "Tidak akan terkalahkan kaum muslimin selama di sana ada Qoqo bin Amr".


Dalam surat Ar-Ra'd ayat 19 Allah mengingatkan kita akan keistimewaan orang-orang mengoptimalkan akal pikirannya: "Apakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu itu benar, sama dengan orang yang buta (tidak menggunakan akal pikirannya). Hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran ".


2. Istijabah Nafsiyah (Menyambut dengan perasaan/emosi).
Para aktivis dan kader da'wah bila mendapat perintah dan tugas, baik tarbawi, da'awi maupun tanzhimi harus menyambutnya dengan perasaan senang, gembira, bahagia dan bersemangat untuk melaksanakannya. Janganlah perintah dan tugas itu disambut dengan rasa berat, malas, enggan dan tidak bergairah. Apapun kondisi yang terjadi pada diri kita, baik dalam keadaan susah, berat maupun kekuatan ma'nawiyah tidak mendukung, apalagi dalam keadaan bergembira.


Bila datang panggilan da'wah kita tidak boleh menolaknya atau merasa enggan dan malas memenuhnya. Allah berfirman: "Berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringgan ataupun ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (At-Taubah :41).


Kemudian pada ayat yang lain Allah menjelaskan,"Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu "Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah"; kamu merasa berat dan ingin ditempatmu Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal keni'matan hidup di dunia itu dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (At-Taubah:38-39).


Para kader yang dibina oleh Rasulullah ketika mendengar panggilan jihad mereka berlomba-lomba untuk memenuhinya dengan harapan mendapat kesempatan mati syahid di jalan Allah. Kelemahan fisik tidak menjadi alasan untuk tidak berangkat memenuhi panggilan jihad, bahkan bila mereka tidak dapat memenuhi panggilan jihad karena udzur, mereka menangis. "Dan tidak berdosa atas orang-orang yang apabila datang kepadamu sepaya kamu memberi mereka kendaraan. Lalu kamu berkata :"Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu ". Lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan". (At-Taubah:92).


Mereka begitu semangat dalam melaksanakan perintah da'wah, perintah tersebut dikerjakan dengan suka cita, riang, gembira serta bahagia, bila mereka dapat melakukannya dengan baik. Sebaliknya, mereka bersedih dan berduka cita bila tidak dapat menjalankan perintah walaupun disebabkan udzur.


3. Istijabah Maaliyah (Menyambut dengan harta).
Da'wah untuk menegakkan dinul Islam muka bumi adalah kerja besar bahkan tidak ada pekerjaan yang lebih besar darinya. Kerja besar ini membutuhkan dana yang besar pula sebagaimana lazimnya proyek besar. Dalam proyek da'wah pendanaan ditanggung oleh para da'i sendiri. Berkorban dengan harta dan jiwa sudah menjadi satu paket yang tidak boleh dipisahkan satu dari yang lainnya. Seperti apa yang Allah sampaikan dalam Qur'an, "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka..." (At-Taubah : 111).


Kemudian ayat lain Allah menjelaskan, "Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan imu dari azab yang pedih? Yaitu, kamu beriman pada Allah dan RasuINya dan berjihad di jalan Alllah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya." (As-Shaff : 10- 11).


Kader da'wah tidak pelit dengan hartanya untuk pembiayaan berbagai kegiatan da'wah dalam da'wah para kader dan aktivis siap mengorbankan hartanya, jangan mengharapkan keuntungan materi serta harta benda dari da'wah. Khadijah isteri Rasulullah telah memberikan seluruh kekayaannya untuk kepentingan da'wah. Pada perang tabuk kaum muslimin berlomba-lomba menginfakkan hartanya dan bersodaqah. Usman bin Affan sebelumnya telah menyiapkan kafilah dagang yang akan berangkat ke Syam berupa dua ratus o­nta lengkap dengan pelana serta barang-barang yang berada di atasnya, beserta dua ratus uqiyyah. Setelah mendengar pengumuman Rasulullah, Usman datang pada Rasul kemudian men-shadaqah-kan semua itu. Kemudian Usman menambah lagi seratus o­nta dengan pelana dan perlengkapannya. Kemudian beliau datang lagi membawa seribu dinar diletakkan di pangkuan Rasulullah. Rasulullah memperhatikan apa yang dishadaqahkan oleh Usman itu seraya berkata:"Apa yang diperbuat oleh Usman setelah ini, tidak akan membahayakannya". Usman terus bershadaqah hingga jumlahnya mencapai sembilan ratus ekor o­nta dan seratus ekor kuda, belum termasuk uang.


Setelah Usman selesai memberikan shadaqah, giliran Abdur Rahman bin Auf datang membawa Dua ratus uqiyyah perak, tak lama setelah AbdurRahman, datanglah Abu Bakar dengan membawa seluruh hartanya yang jumlahnya empat ribu dirham, sampai-sampai beliau tidak menyisakan hartanya untuk keluar-ganya kecuali Allah dan Rasulnya. Kemudian shahabat-shahabat yang lain berdatangan. Umar menyerahkan setengah hartanya. Al-Abbas datang menyerahkan hartanya yang cukup banyak. Thalhah, Sa'ad bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah semuanya datang menyerahkan shadaqahnya. Tidak ketinggalan Ashim bin Adi datang menyerahkan sembilan puluh wasaq kurma. Kemudian diikuti sahabat yang lain mulai dari yang sedikit sedikit sampai yang banyak. Sampai ada di antara mereka yang berinfaq dengan segenggam atau dua genggam kurma, karena hanya itu yang mereka mampu lakukan. Kaum wanitapun menyerahkan berbagai perhiasan yang yang mereka miliki, seperti gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Tidak ada seorangpun yang kikir menahan hartanya kecuali orang-orang munafiq.


Allah berfirman: "Orang-orang Munafiq yang mencela orang-orang Mu'min yang memberi shadaqah dengan sukarela, dan merekapun menghina orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dishadaqahkan sekedar kesanggupannya". (At-Taubah :79)


4. Istijabah Harakiyah (Menyambut dengan aktivitas)
Aktivis da'wah adalah yang orang aktif dalam kegiatan da'wah, selalu hadir dalam kegiatan da'wah dan berusaha untuk berada di barisan orang-orang mengutamakan kerja daripada berbicara. Bahkan berupaya untuk berada di garda terdepan dalam mempertahankan dan membela Islam. Perlu diingat, tugas da'wah yang diemban aktivis sangat banyak, lebih banyak dari waktu yang tersedia.


Tugas-tugas itu antara lain, pertama: Kewajiban dalam Tarbiyah, tujuannya, agar kualitas dan mutu kader semakin baik. Kedua: Kewajiban dalam Da'wah, tujuannya, agar penyebaran da'wah semakin luas. Ketiga: Kewajiban yang sifatnya tanzhimiyah, bertujuan, agar amal jama'i stuktural semakin kokoh. Bila kita pelajari siroh Nabawiyah dan siroh As-Salaf As-Shalih, kita bisa lihat, pola kehidupan mereka. Mereka lebih banyak bekerja untuk umat dibanding untuk diri dan keluarga mereka karena kesibukan yang begitu padat hampir tidak ada waktu untuk istirahat, bahkan tidak menyempatkan diri untuk istirahat. Para sahabat Rasul tidak pernah berhenti berjihad di jalan Allah, sebagian ahli sejarah mencatat sebanyak seratus kali peperangan selama sepuluh tahun Rasul di Madinah, baik yang dipimpin langsung oleh Rasul dan yang dipimpin oleh sahabatnya. Baik itu pertempuran besar maupun yangkecil, baik yang jadi maupun tidak jadi perang. Sehingga jika diambil rata, peperangan terjadi sebulan sekali, artinya mobilitas jihad sangat tinggi. Begitu pula di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq. Peperangan dilakukan selama dua tahun tiga bulan sepuluh hari, belum lagi peperangan yang dipimpin oleh Khalid bin Walid yang jumlahnya sebanyak dua puluh kali peperangan yang dilakukan terus menerus secara berkesinambungan.


Melihat kondisi saat ini, dimana tuntutan da'wah begitu besar, yang disertai ancaman global, tentu hal ini, menuntut kesungguhan, keseriusan serta mobilitas da'wah dan jihad yang tinggi, jika tidak maka kekuatan batil yang akan berkuasa di bumi ini. Dalam hal ini, Allah berfirman: "Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan, ikutilah agama orang tua Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan begitu pula dalam al-Qur'an ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung". (Al-Hajj :76 ).


Penutup


Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah pikiran kita terkonsentrasikan dan terfokuskan untuk memikirkan umat, memikirkan bagaimana cara yang efektif dalam melakukan da'wah untuk mereka. Sudahkah kita menyumbangkan pendapat, gagasan dan ide terbaik untuk kemajuan da'wah. Sudahkah kita mempersembahkan kreatifitas untuk pengembangan da'wah yang lahir dari hasil kajian, telaah, renungan dan evaluasi kerja da'wah saat ini?!.


Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah kita merasa gembira senang dan bahagia mana kala kita mendengar perintah, menerima tugas dan mendapatkan amanah da'wah. Apakah kita merasa bersedih, menangis dan merasa rugi jika kita tidak dapat melaksanakan tugas dengan baik, tidak dapat ikut dalam kegiatan da'wah di saat uzur. Menyesalkah kita jika tidak dapat menyelesaikan tugas dengan baik ?!


Ikhwah dan Akhwat fillah, sudahkah kita mengeluarkan sebagian dari rizki yang kita dapatkan untuk kepentingan da'wah. Sudahkah kita berniat dan ber-Azam untuk menginfaqkan harta kita di jalan Allah?Sudahkah kita miliki tabungan da'wah?


Ikhwah dan Akhwat fillah, betulkah kita sebagai aktivis da'wah, apa buktinya? Apa kontribusi riil kita untuk da'wah? Apa prestasi da'wah kita selama ini? Sudah berapa orang yang telah kita rekrut melaui da'wah fardiyah atau da'wah jamahiriyah? sudah berapa orang kader yang kita tarbiyah? Sudahkah kita menjadikan waktu, kerja, profesi dan seluruh aktivitas kita sebagai kegiatan da'wah ?!


Ikhwah dan Akhwat fillah, keimanan kita baru diakui oleh Allah apabila ada ruhul istijabah pada diri kita, dan baru akan sempurna iman kita jika aspek-aspek istijabah itu telah terpenuhi. Allah berfirman :

"
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan terhadap orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka sebelum mereka berhijrah, akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam urusan pembelaan agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada ikatan perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Anfal: 72). "Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan kepada orang-orang muhajirin, mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan, rizki (ni'mat ) yang mulia", (al-Anfal : 74).

Baca selengkapnya......

02 Februari 2009

Kontribusi Dakwah

Baca selengkapnya......

Template by:
Free Blog Templates